Hadits Pertama
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَطَّلِعُ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلىَ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ .
أخرجه أحمد
“Dari Abdullah bin Amr, dari
Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melihat kepada makhluk-Nya pada
malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yang tidak diampuninya, yaitu orang yang bermusuhan dan pembunuh orang.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad [2/176] dengan sanad yang lemah, sebagaimana dapat dilihat dalam al-Targhib wa al-Tarhib [3/284] dan Majma’ al-Zawaid [8/65]).
Hadits Kedua
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى
خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ
خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ . أخرجه ابن حبان في صحيحه
والطبراني، وأبو نعيم في الحلية.
“Dari Mu’adz bin Jabal, dari Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya [12/481], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/109] dan al-Mu’jam al-Ausath, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ [5/195], semuanya dari jalur Makhul, dari Malik bin Yukhamir dari Mu’adz secara marfu’. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [8/65], “Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath, dan para perawinya dapat dipercaya”. Malik bin Yukhamir seorang perawi tsiqah dan mukhadhram (generasi tabi’in yang mengikuti masa Jahiliyah), sedangkan Makhul pernah menjumpainya, sehingga hadits ini tidak mengalami keterputusan (inqitha’), sebagaimana asumsi sebagian kalangan. Kesimpulannya, Ibnu Hibban sangat tepat dalam menilai shahih hadits tersebut.
Hadits di atas juga diriwayatkan dari 3) jalur Abu Hurairah oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya [2/436], 4) jalur Abu Tsa’labah al-Khusyani oleh al-Thabarani [Majma’ al-Zawaid 8/65] dan Ibnu Abi Ashim dalam al-Sunnah [1/223], 5) jalur Auf bin Malik oleh al-Bazzar [2/463], 6) jalur Abu Bakar al-Shiddiq oleh Ibnu Khuzaimah dalam al-Tauhid
[no. 90] dan Ibnu Abi Ashim [no. 509], 7) jalur Abu Musa oleh Ibnu
Majah [1/446] dan al-Lalaka’i [no. 763] dan 8) jalur Aisyah oleh Ahmad
[6/238], al-Tirmidzi [3/107] dan Ibnu Majah [1/445].
Kesimpulan dari riwayat-riwayat tersebut
adalah menetapkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban secara khusus, dan
salah satu dari riwayat di atas telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Bahkan al-Albani – ulama Salafi-Wahabi -, juga menilainya shahih dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah [1144], dalam Shahih Sunan Ibn Majah [1/233] dan dalam ta’liq terhadap kitab al-Sunnah
karya Ibnu Abi Ashim [no. 509, 510, 511 dan 512). Riwayat yang shahih
ini, sekaligus menaikkan riwayat-riwayat lainnya yang dianggap dha’if menjadi hasan lighairihi sebagaimana telah menjadi ketetapan dalam ilmu hadits.
Oleh karena keutamaan malam Nishfu
Sya’ban memiliki dasar yang sangat kuat, umat Islam sejak generasi salaf
banyak yang menghidupkannya dengan aneka ragam ibadah seperti shalat,
doa dan lain-lain. Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum
Salafi-Wahabi berkata dalam fatwanya:
وَقَدْ سُئِلَ ابْنُ
تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ صَلاَةِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَأَجَابَ : إِذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ
وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ
مِنَ السَّلَفِ فَهُوَ حَسَنٌ. وَقَالَ فِيْ مَوْضِعٍ آخَرَ : وَأَمَّا
لَيْلَةُ النِّصْفِ فَقَدْ رُوِيَ فِيْ فَضْلِهَا أَحَادِيْثُ وَآَثاَرٌ
وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ
فِيْهَا فَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْهَا وَحْدَهُ قَدْ تَقَدَّمَهُ فِيْهِ
سَلَفٌ وَلَهُ فِيْهِ حُجَّةٌ فَلَا يُنْكَرُ مِثْلُ هَذَا.
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang shalat
malam Nishfu Sya’ban, maka ia menjawab: “Apabila seseorang menunaikan
shalat pada malam Nishfu Sya’ban, sendirian atau bersama jamaah tertentu
sebagaimana dikerjakan oleh banyak kelompok kaum salaf, maka hal itu
baik.” Di tempat lain, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Adapun malam Nishfu
Sya’ban, telah diriwayatkan banyak hadits dan atsar tentang keutamaannya
dan telah dikutip dari sekelompok kaum salaf bahwa mereka menunaikan
shalat pada malam itu. Jadi shalat yang dilakukan oleh seseorang
sendirinya pada malam tersebut, telah dilakukan sebelumnya oleh kaum
salaf dan ia mempunya hujjah, oleh karena itu hal seperti ini tidak
boleh diingkari.” (Majma’ Fatawa Ibni Taimiyah [3/131-132].
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, salah seorang murid Ibnu Taimiyah, juga berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif sebagai berikut:
وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ كَانَ التَّابِعُوْنَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ يُعَظِّمُوْنَهَا
وَيَجْتَهِدُوْنَ فِيْهَا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ خَالِدُ بْنِ
مَعْدَانَ وَلُقْمَانُ بْنِ عَامِرٍ وَغَيْرُهُمَا مِنْ تَابِعِي الشَّامِ
يَقُوْمُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ لَيْلَةَ النِّصْفِ، وَوَافَقَهُمُ
اْلإِمَامُ إِسْحَاقُ ابْنُ رَاَهَوْيه عَلىَ ذَلِكَ، وَقَالَ فِيْ
قِيَامِهَا فِي الْمَسَاجِدِ جَمَاعَةً : لَيْسَ ذَلِكَ بِبِدْعَةٍ . انتهى
باختصار وتصرف .
“Malam Nishfu Sya’ban, kaum Tabi’in
dari penduduk Syam mengagungkannya dan bersungguh-sungguh menunaikan
ibadah pada malam tersebut. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan
lain-lain dari kalangan tabi’in Syam mendirikan shalat di dalam Masjid
pada malam Nishfu Sya’ban. Perbuatan mereka disetujui oleh al-Imam Ishaq
Ibnu Rahawaih. Ibnu Rahawaih berkata mengenai shalat sunnah pada malam
Nishfu Sya’ban di Masjid-masjid secara berjamaah: “Hal tersebut tidak
termasuk bid’ah.” (al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif [h. 263] dengan disederhanakan).
Wal-hasil, keutamaan malam Nishfu
Sya’ban memiliki dasar hadits-hadits yang shahih. Menghidupkan malam
tersebut dengan aneka ragam ibadah sunnah telah dianjurkan oleh banyak
ulama salaf, untuk mengharapkan rahmat Allah yang turun pada malam utama
tersebut. Lebih-lebih malam Nishfu Sya’ban termasuk salah satu malam
yang dipermudah terkabulnya doa. Al-Imam al-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm sebagai berikut:
( قال الشَّافِعِيُّ )
وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كان يُقَالُ إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ في خَمْسِ
لَيَالٍ في لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى وَلَيْلَةِ
الْفِطْرِ وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ من رَجَبٍ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ من شَعْبَانَ
Al-Syafi’i berkata: “Telah sampai
kepada kami bahwasanya selalu dikatakan bahwa permohonan akan dikabulkan
dalam lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya idul adha, malam
hari raya idul fitri, awal malam di bulan Rajab dan malam Nishfu
Sya’ban.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm [1/231]).
Berdasarkan keterangan di atas, kita
jumpai kaum Muslimin sejak masa-masa yang silam menghidupkan malam
Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam ibadah dan kebajikan seperti
bersedekah, mengerjakan shalat sunnah secara berjamaah, membaca surat
Yasin dan diakhiri dengan doa kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !